Radjasa MBA Selaku Pemerhati Aceh |
Menanggapi hal tersebut Radjasa MBA Selaku Pemerhati Aceh mengatakan,
Apa jadinya jika korupsi sistemik yang merupakan extraordinary crime, melibatkan seluruh pemangku kebijakan di suatu negeri. Pertanyaan yang amat mudah menjawabnya, yaitu terjadinya ketidak adilan dan kemiskinan akut yang diderita rakyat tidak berkesudahan, Senin (13/3/2023).
"Pokir DPRA merujuk kepada Pasal 161 UU No 23/2014 menegaskan bahwa anggota DPRD berkewajiban menyerap, menghimpun dan menampung serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Kemudian diperkuat dengan Pasal 54 PP No 12/2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa Badan Anggaran mempunyai tugas dan wewenang memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD, imbuhnya lagi.
Kemudian muncul persoalan yang berpotensi korupsi, ketika anggota DPRA mengklaim paket proyek yang merupakan aspirasi masyarakat dan dituangkan dalam APBA, adalah miliknya dan menuntut fee dari pekerjaan paket proyek tersebut. Hal ini tentunya sudah melampaui kewenangan DPRA sebagai perencana dan pengawas dalam mengelola APBA.
"Praktek mengejar rente dari paket pokir oleh anggota DPRA adalah bisnis HARAM yang terjadi setiap tahun anggaran. Terlebih lagi jika kita teliti secara cermat, maka tidak sedikit paket proyek yang sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya mendorong percepatan kesejahteraan rakyat" urainya.
Lanjutnya, Bahkan banyak paket proyek yang tidak berada di dapilnya, seperti Pokir Hendra Budian dengan pagu anggaran yang fantastic Rp 85.000.000.000,-. Menghadapi prak korupsi sistemik yang berkedok Pokir DPRA, tentunya KPK tidak lagi melakukan langkah himbauan, tapi KPK dipandang perlu melakukan eksekusi hukum jika Pokir DPRA terus dilanjutkan.
"Fenomena korupsi sistemik juga terjadi dikalangan Forkompimda, sebagaimana sudah menjadi rahasia umum bahwa jajaran Forkompimda mendapat gelontoran paket APBA. Sehingga sering terjadi tarik menarik ketika lelang paket proyek dilaksanakan, persoalannya adanya klaim paket proyek “milik kejaksaan, polda, kodam”, jelasnya.
Akibat dari klaim haram paket proyek APBA, telah meresahkan kalangan dunia usaha di Aceh, karena praktek monopoli marak terjadi. Bahkan muncul seloroh “kalau masih suka paket proyek, kenapa masih saja jadi jaksa, polisi atau tentara, silahkan jadi kontraktor dong”.
Lantas mengapa kita masih saja diam, melihat porak porandanya moral para pemangku kebijakan di Aceh. Jika tidak ada lagi keteladanan yang ditujukan oleh para pemangku kebijakan, maka tidak mungkin kita berharap tumbuhnya kehidupan social yang menjunjung tinggi etika kultural. Ibarat ikan membusuk pasti dari kepala, kemudian menjalar hingga ke ekor. Maknanya betapa bahayanya jika jajaran pimpinan di Aceh tidak mampu lagi menjadi teladan bagi rakyat Aceh, sudah dapat dipastikan akan menggerus kultur Aceh maha karya hasil olah rasa para leluhur.
Oleh karenanya dalam perspektif ancaman, korupsi sistemik yang terus dipraktekan oleh pemangku kebijakan di Aceh, adalah ancaman nyata yang lebih berbahaya dari issue separatisme, dengan dampak multidimensional diantaranya kemiskinan yang semakin akut, kelangsungan damai Aceh dan terkontaminasinya kultur Aceh akibat hilangnya keteladanan dari pemimpin. Jika KPK RI tidak punya nyali membongkar korupsi sistemik di Aceh, rakyat Aceh akan lakukan pengadilan jalanan, kampanyekan anti korupsi dengan slogan “korupsi itu enaknya sesaat, malunya sampai liang lahat, mudaratnya sampai akherat”. Tutup Radjasa MBA Selaku Pemerhati Aceh.
| Roby Sinaga