Berdasarkan hasil nekropsi tim BKSDA Aceh, gajah betina umur sekitar 6-7 tahun itu, mati akibat mengkonsumsi pupuk yang berada di pondok warga pada areal kebun masyarakat.
Berdasarkan data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan [HAkA] Aceh menunjukkan, dari Juni 2020 hingga Juli 2021, provinsi Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 19.443 hektar. Atau, dalam setiap 27 menit, Aceh kehilangan satu hektar tutupan hutan. Sehingga Konflik antara manusia dengan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] di Provinsi Aceh terus terjadi.
Dan berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, periode Januari hingga Agustus 2022, konflik antara manusia dengan gajah sebanyak 68 kasus. Yang melingkupi sebarannya di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Selatan, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam.
Sementara, di tahun 2021 [145 kasus], tahun 2020 [111 kasus], pada tahun 2019, jumlah konflik antara manusia dengan gajah mencapai 106 kali.
Pertikaian yang paling sering terjadi adalah sebab gajah memasuki lahan kebun atau makan tanaman pertanian milik masyarakat.
“Satu penyebab yang utama adalah diakibatkan habitatnya yang sudah rusak, atau berubah menjadi areal pertanian masyarakat dan lahan perkebunan baik itu milik masyarakat juga perusahaan,” terang Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Aceh Kamarudzaman.
Kamarudzaman juga menyampaikan, konflik antara manusia dengan gajah yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara. BKSDA Aceh bersama lembaga mitra sudah tidak tahu kemana harus menggiring kawanan gajah yang berkonflik, sebab sebagian besar habitatnya telah menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit.
“Tidak sedikit kawanan gajah yang terjebak di areal perkebunan. Namun BKSA sudah berupaya maksimal, jangan sampai satwa dilindungi ini ada yang menjadi korban, terlebih mati,” tambahnya.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto juga menjelaskan, pihaknya bersama lembaga pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota beserta mitra, terus berupaya meminimalisir konflik antara manusia dengan satwa liar.
Untuk mengantisipasi agar gajah tidak masuk ke areal kebun atau permukiman masyarakat, upaya itu dilakukan dengan membuat barrier atau parit dibuat di Aceh Timur, Aceh Selatan, dan beberapa daerah. Juga pagar kejut atau power fencing dengan arus listrik rendah juga dibangun di Kabupaten Pidie, Aceh Timur, dan Bener Meriah.
“Semua ini tidak bisa dilakukan BKSDA Aceh dan lembaga mitra tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat,” jelasnya.
Untuk mengatasi konflik antara manusia dengan satwa liar(gajah), ada didirikan juga sebanyak tujuh Conservation Response Unit [CRU] seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Dan di setiap CRU, juga ada terdapat tiga atau empat ekor gajah jinak yang difungsikan untuk membantu meminimalisir terjadinya konflik tersebut.
“Semua kegiatan itu untuk menyelesaikan konflik sementara, yang paling penting adalah masyarakat setidaknya mengganti tanaman yang disukai gajah seperti kelapa sawit, pinang, jagung, atau tebu. Dengan demikian kita bisa hidup berdampingan dengan hewan yang dilindungi,” paparnya.
Selanjutnya Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Muhammad Daud juga menyampaikan, untuk penanganan konflik antara manusia dengan gajah terkendala oleh berbagai masalah, seperti pertanian dan perkebunan. Sementara Kebutuhan lahan di Aceh meningkat oleh karena pertumbuhan penduduk,” ungkapnya.
Terkait satwa liar, Aceh telah memiliki Qanun atau Perda Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh dan Qanun Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Satwa Liar. DLHK Aceh bersama lembaga terkait, akademisi, dan LSM tengah menyelesaikan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan [SRAP] Satwa Liar.
| ***