PULUHAN keluarga etnis Tionghoa hingga saat ini masih menetap di Kecamatan Idi Kabupaten Aceh Timur. Beberapa diantara mereka, ada yang masih menganut agama Budha, namun tidak sedikit yang memilih masuk Islam.
Hal ini diungkapkan oleh seorang warga keturunan Cina, Johanes Kosasih alias Bingho, 73 tahun, Minggu 10 Februari 2013.
“Sekarang ini sekitar puluhan kepala keluarga warga Tionghoa yang berada di Kota Idi, selebihnya sudah memeluk agama Islam,” kata dia.
Johanes Kosasih adalah penjual obat-obatan di Idi. Dia menjual obat-obatan tersebut sudah hampir 50 tahun lamanya. “Kebanyakan warga Cina yang berada di Idi berprofesi sebagai pedagang,” ujar Johanes Kosasih lagi.
Saat disinggung sosl perayaan hari raya Imlek, Johanes mengatakan dia sudah 15 tahun tidak melaksanakan perayaan tersebut. Terutama setelah konflik melanda Aceh Timur.
“Sejak Konflik tidak merayakan hari raya imlek, dan keluargapun masa itu pindah ke Medan Sumatera Utara, “ kata dia.
Sebelum konlik melanda Aceh, katanya lagi, saat perayaan hari raya imlek dulunya digelar berbagai festival seni barongsai.
“Dan kegiatan perayaan tersebut sangat meriah sekali masa itu, yaitu sekitar 20 tahun lalu. Pada tahun 1960, warga turunan Etnis Tionghoa masih banyak di Idi, “ ujar dia.
Salah satu bukti keberadaan warga Tionghoa di Idi adalah keberadaan Vihara Murni Sakti atau Tepekong Chin Sui Co Su. Konon, bangunan tersebut telah dibangun sejak tahun 1880 di Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur.
Pembangunan vihara ini sekitar tahun 1880 atau semasa Kerajaan Idi dipimpin oleh Tuanku Chik Bin Guci.
Saat itu, kata Johanes, Kota Idi Rayeuk merupakan salah satu kawasan perdangan dikawasan pantai timur Aceh. Ketika itu Idi banyak disinggahi para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk memburu hasil bumi, salah satunya etnis Tionghoa. [ap]