Suaidi Yahya | Wali Kota Lhokseumawe |
LHOKSEUMAWE | Samudra News - Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, memberlakukan larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat diboncengkan sepeda motor. Hal itu tertuang dalam surat edaran tentang yang ditandatangani Wali Kota Lhokseumawe Suadi Yahya, Rabu (2/1/2013).
Sontak, rencana tersebut menjadi pembicaraan hangat publik di Aceh, bahkan mancanegara. Tak hanya di media arus utama, di media sosial sepertifacebook dan twitter pun banyak yang membincangkannya. Demikian pula di kedai-kedai kopi yang banyak tersebar di seluruh provinsi ini.
Kritik pun berhamburan. Para pihak yang kontra dengan ketentuan ini berpandangan, tak ada ketentuan dalam Syariat Islam yang mengatur mengenai larangan duduk mengangkang di sepeda motor bagi perempuan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dianggap melanggar hak azasi perempuan di jalan raya. Banyak kalangan juga menilai, duduk mengangkang bagi perempuan juga lebih aman daripada duduk menyamping saat dibonceng.
Akan tetapi, Pemerintah Kota Lhokseumawe bergeming dengan beragam kritik masyarakat. Mereka tetap keukeuh dengan keputusan itu. Lalu, apa sebenarnya alasan mereka? Berikut wawancaraKompas dengan Suadi Yahya (SY) yang didampingi Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe, Dasni Yuzar (DY), Jumat (4/1/2013) lalu.
Apa yang melatarbelakangi Pemerintah Kota Lhokseumawe mengeluarkan kebijakan pelarangan duduk mengangkang bagi perempuan saat diboncengkan sepda motor ini?
SY: Ini adalah bentuk respons saya, atas keinginan para ulama yang tergabung dalam MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), dan juga MAA (Majelis Adat Aceh), yang menyampaikan perlunya melaksanakan Syariat Islam dan adat istiadat Aceh secara kaffah dan lebih baik.
Selain itu, kami juga ingin kembali mengangkat budaya dan adat istiadat Aceh dalam kehidupan bermasyarakat yang mulai ditinggalkan. Dalam budaya Aceh itu dikenal dengan budaya malu, salah satu bentuk dari budaya ini adalah kalau naik kereta (sepeda motor) duduknya menyamping bagi perempuan. Duduk menyamping ini tujuannya agar marwah dan martabat perempuan tetap terhormat di jalan raya, demikian pula dengan kemulyaannya. Kemulyaan wanita tak sama dengan laki-laki, memang harus berbeda. Jika duduk mengangkang, seakan-akan wanita itu seperti laki-laki, padahal keindahan dan kemulyaan wanita ada pada kelembutannya.
Selain itu, dengan duduk menyamping, wanita akan terhindar dari duduk peluk-pelukan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya di atas sepeda motor. Selama ini kita lihat di jalan raya, banyak perempuan dan laki-laki yang duduk berpeluk-pelukan, padahal bukan muhrimnya. Ini tentu bertentangan dengan Syariat Islam dan adat istiadat budaya Aceh.
Adat istiadat Aceh dari dulu pun sudah seperti itu.
DY: Aceh sudah memiliki Qanun Syariat Islam. Artinya, kita harus menjalankan sebaik-baiknya. Termasuk perlunya ketentuan penghormatan terhadap martabat wanita di jalan raya berupa larangan untuk duduk mengangkang saat diboncengkan. Semestinya tak hanya di Lhokseumawe, tetapi seluruh Aceh pun demikian. Apalagi di tengah situasi Aceh yang sedang krisis identitas ini.
Kapan ketentuan ini akan diberlakukan?
SY: Terhitung tanggal 2 Januari 2012 lalu saya sudah menandatangani surat edaran mengenai larangan ini. Sifatnya sekarang ini adalah imbauan kepada masyarakat. Baru kemudian teguran di lapangan, baru kemudian tindakan.
Setidaknya imbauan ini sampai dua bulan ke depan. Nanti setelah itu akan dievaluasi lagi, bagaimana perkembangannya. Apabila sudah bisa dipahami oleh masyarakat, akan kita bahas apa perlu dibuatkan perbub atau qanun untuk mengaturnya. Kami akan duduk dengan para ulama dan elemen masyarakat lainnya. Baru kemudian bisa kami berlakukan sanksi, tentunya sanksi yang tak menyakiti. Islam itu lembut, mengayomi. Aturan ini tujuannya bukan untuk menyusahkan masyarakat, tapi membawa umat ke arah yang lebih baik, teratur, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
DY: Untuk tahap awal ini aturan cukup kepada pegawai negeri sipil (PNS) di Lhokseumawe. Kepada masyarakat hanya diimbau.
Ketentuan Syariat Islam yang mana yang menjadi dasar keluarnya larangan ini?
Begini. Sejak dulu, Aceh untuk sudah Islami. Itu tercermin juga dalam adat istiadat dan budayanya. Aturan ini kami tujukan untuk memperkuat budaya Aceh yang islami itu. Namun, saat ini kami menghadapi gempuran budaya asing, yang berpotensi merusak nilai-nilai budaya dan adat istiadat kami. Ini yang menjadi keresahan kami bersama.
Duduk menyamping saat dalam boncengan "kereta" itu sejak dulu sudah ada dalam budaya dan adat istiadat kami. Adat semacam itu tujuannya hanya satu yakni menjaga martabat, kemulyaan, dan marwah perempuan di Aceh. Inilah yang harus dijaga. Mengembalikan marwah dasar wanita Aceh yang sesuai dengan nilai Islam dan adat istiadat Aceh.
Aceh telah memiliki perda atau qanun tentang Syariah Islam. Inilah yang ingin akomodasi dan laksanakan sebaik-baiknya. Memang, Qanun Syariah belum secara keseluruhan mengatur tentang semua tuntunan dalam Syariat Islam, tapi qanun ini juga menginspirasi kami mengembalikan budaya Aceh yang Islami dan bermartabat.
Banyak kalangan menolak ketentuan ini karena dinilai tak adil bagi perempuan, dan bahkan sangat membahayakan bagi perempuan jika harus duduk menyamping saat diboncengkan sepeda motor di jalan raya. Menurut Anda?
Tolong dipahami, adat istiadat Aceh sejak dulu sudah seperti itu. Bagi yang di luar Aceh mohon pengertiannya. Jangan sekadar pak ai logika. Hormati keinginan kami untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah, dan melaksanakan adat istiadat budaya kami. Kami hanya ingin wanita di Aceh terjafa martabat, harkat, dan kemulyaannya. Marwah lembut perempuan itu harus dijaga.
Mengenai duduk menyamping berbahaya, itu kalau ngebut, kalau membawa kendaraannya biasa saja, itu justru akan memberikan nuansa kelembutan. Yang bilang itu bahaya adalah mereka yang sering duduk mengangkang.
Cukup jelas dalam Islam, agar umat Islam baik laki-laki maupun perempuan menjaga kesopanannya. Tapi, apa yang kami lakukan ini seakan-akan dipandang sebagai kekejaman. Padahal, harapan dan tujuan kami hanyalah agar marwah, martabat, dan kemulyaan perempuan Aceh terpelihara sesuai Syariat Islam dan adat istiadat budaya Aceh.
Persoalan penting yang dihadapi Aceh, khususnya Lhokseumawe ini masih banyak seperti pemberantasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, dan penanganan korban konflik. Tapi, mengapa yang dida hulukan justru persoalan larangan mengangkang bagi perempuan seperti ini?
Mohon dipahami, ini semua untuk kebaikan kami, masyarakat Aceh yang islami. Kami sangat menghargai perempuan-perempuan kami. Menjaga martabat dan kemulyaannya sangat penting. Tak hanya di mata masyarakat Lhokseumawe, tapi juga di mata umat yang lain. [kmps]