Banda Aceh | Samudra News - Awalnya aku tidak tahu ada acara simposium penulis di Aceh. Temanku yang pustakawan memberitahuku informasi tersebut dari media massa lokal.
Bermodal nekad kuhubungi panitia. Aku sempat berkali-kali salah nomor karena ketidakjelasan nomor kontak yang tertera di koran hari itu. Akhirnya, aku bisa mendapatkan nomor handphone yang benar setelah mengecek di "Mbah" Google.
Panitia mengizinkanku datang asal sendirian. Pertimbangannya jelas di akomodasi. Izin dari kantor kudapatkan sehari sebelum hari H. Semua serba di luar dugaan. Ditambah kondisi tubuhku yang kurang fit pasca sakit. Aku pun harus menempuh perjalanan selama tiga jam dari tempat kerjaku dengan kondisi jalan yang berkelok dan naik turun sepanjang Hutan Seulawah.
Acara hari itu berlangsung di hotel Madinah. Agenda besar ini seharusnya bisa berjalan dengan sukses seandainya semua dipersiapkan dengan matang dan tepat waktu. Sekadar informasi, acara baru dimulai pukul 09.30 WIB, molor 90 menit dari jadwal yang tertera di undangan.
Sebagai orang yang selalu tepat waktu, jelas aku kecewa dan kesal. Rasa kecewaku semakin bertambah manakala penulis perempuan sama sekali tidak diberi kesempatan bertanya. Hari itu penulis perempuan yang hadir sekitar 12 orang, termasuk diriku. Berbeda dengan penulis laki-laki yang mendominasi forum. Sepertinya penulis perempuan di Aceh harus menunggu beberapa tahun lagi untuk diakui keberadaannya.
Kekecewaanku sedikit terobati ketika sesi rehat berkesempatan mengobrol langsung dengan pemateri, yakni Syahruddin El-Fikri (Wakil Redaktur Pelaksana Harian Umum Nasional Republika). Suasana yang santai dan sikap beliau yang ramah membuat obrolan di antara kami semakin asyik, hingga lupa untuk makan siang. Beliau berbagi tips menembus Republika. Tak lupa sebuah pesan singkat beliau tulis untukku.
"Menulis itu mudah dan melakukan perubahan itu juga mudah, selama kita punya komitmen untuk melakukannya."
Kalimat yang menjadi penyemangatku untuk terus menulis. Perbincangan pun kami akhiri dengan makan siang bersama beliau. Akhirnya kututup hari itu dengan sesuatu yang indah. Momen yang akan kuingat sepanjang hidupku. [tgj]
Bermodal nekad kuhubungi panitia. Aku sempat berkali-kali salah nomor karena ketidakjelasan nomor kontak yang tertera di koran hari itu. Akhirnya, aku bisa mendapatkan nomor handphone yang benar setelah mengecek di "Mbah" Google.
Panitia mengizinkanku datang asal sendirian. Pertimbangannya jelas di akomodasi. Izin dari kantor kudapatkan sehari sebelum hari H. Semua serba di luar dugaan. Ditambah kondisi tubuhku yang kurang fit pasca sakit. Aku pun harus menempuh perjalanan selama tiga jam dari tempat kerjaku dengan kondisi jalan yang berkelok dan naik turun sepanjang Hutan Seulawah.
Acara hari itu berlangsung di hotel Madinah. Agenda besar ini seharusnya bisa berjalan dengan sukses seandainya semua dipersiapkan dengan matang dan tepat waktu. Sekadar informasi, acara baru dimulai pukul 09.30 WIB, molor 90 menit dari jadwal yang tertera di undangan.
Sebagai orang yang selalu tepat waktu, jelas aku kecewa dan kesal. Rasa kecewaku semakin bertambah manakala penulis perempuan sama sekali tidak diberi kesempatan bertanya. Hari itu penulis perempuan yang hadir sekitar 12 orang, termasuk diriku. Berbeda dengan penulis laki-laki yang mendominasi forum. Sepertinya penulis perempuan di Aceh harus menunggu beberapa tahun lagi untuk diakui keberadaannya.
Kekecewaanku sedikit terobati ketika sesi rehat berkesempatan mengobrol langsung dengan pemateri, yakni Syahruddin El-Fikri (Wakil Redaktur Pelaksana Harian Umum Nasional Republika). Suasana yang santai dan sikap beliau yang ramah membuat obrolan di antara kami semakin asyik, hingga lupa untuk makan siang. Beliau berbagi tips menembus Republika. Tak lupa sebuah pesan singkat beliau tulis untukku.
"Menulis itu mudah dan melakukan perubahan itu juga mudah, selama kita punya komitmen untuk melakukannya."
Kalimat yang menjadi penyemangatku untuk terus menulis. Perbincangan pun kami akhiri dengan makan siang bersama beliau. Akhirnya kututup hari itu dengan sesuatu yang indah. Momen yang akan kuingat sepanjang hidupku. [tgj]